Tak salah kalau orang Indonesia menyapa orang Papua dengan sebutan ‘monyet’ atau monkey dalam English. Mengapa? Karena stigma ‘monyet’ yang dialamatkan kepada orang Papua itu menunjukan ungkapan penjajahan.
Foto Ilustrasi |
Stigmatisasi seperti ini sering diungkapkan berbagai lapisan
masyarakat Indonesia. Tak hanya kali ini kepada mahasiswa Papua di Kota
Surabaya, pada hari Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 2019). Hanya saja, yang
sangat disayangkan adalah Negara Indonesia yang mengakuinya sebagai negara
demokrasi itu masih menerapkan rasisme.
Sejak Papua dianeksasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), orang Papua di mata Indonesia bukanlah manusia. Mereka adalah binatang
buruan yang pantas diburu setiap saat, semaunya. Bagi Indonesia, orang Papua
tak bermartabat sebagaimana manusia ras melayu.
Jika pandangan Indonesia sedemikian rupa, tentu saja mereka
hanya menginginkan kekayaan alam Papua. Ini terbukti dengan adanya PT. Freeport
Indonesia dan kroni-kroninya yang mengeruk habis-habisan kekayaan alam Papua,
yang sudah dan sedang merusak alam dan tak menyejahterakan orang Papua secara
menyeluruh.
Dengan demikian, bangsa Indonesia ibarat kupu-kupu yang tak
henti menghisap madu bunga. Ungkapan penjajahan atau stigmatisasi serupa pernah
dialami oleh bangsa-bangsa di dunia ini yang pernah berada di bawah jajahan
bangsa lain, seperti orang kulit hitam di Afrika dengan perberlakuan politik
Aparteid. Di mana orang kulit hitam dijadikan manusia kelas 2, bahkan dianggap
sekelas binatang oleh orang kulit yang menjajah mereka. Hal ini biasanya
dilakukan hanya untuk menguasai.
Tetapi dari stigmatisasi seperti ini, orang Papua akan
bangkit untuk melawan rasisme, karena mereka sadar bahwa manusia adalah ciptaan
Tuhan yang secitra dengannya dan yang paling mulia di antara ciptaan Tuhan yang
lain. Dan perjuangan itu akan memerdekakan mereka dari segala stigmatisasi yang
tak manusiawi.
No comments:
Post a Comment